CERPEN 

Perjanjian dengan Setan

Herpin Nopiandi Khurosan lulus dari Universitas Padjadjaran. Beberapa cerpen dan terjemahannya tersebar di beberapa media lokal dan nasional. Bergiat di Sanggar Ekspresi Sastra Yogyakarta dan FORLISA Salatiga. Saat ini tinggal di Salatiga, Jawa Tengah.

 

Ia merobek-robek kertas. Berpuluh-puluh lembar ia robek. Ia berharap bahwa kertas yang ia robek dapat mewakilkan perjanjian yang pernah ia buat. Namun sayang, usahanya itu akan selalu percuma. Dan ia tentu tahu hal itu. Perjanjian itu tidak tertulis di atas kertas, melainkan pada media lain yang tak berwujud, tak kasat mata. Sehingga berjuta kalipun ia merobek kertas-kertas, tak akan bisa merobek perjanjian yang telah ia sepakati.

Perjanjian itu ada.

***

Sejuta derita pernah Panjul rasakan. Berbagai jenisnya nyaris lengkap ia kumpulkan. Derita baginya adalah kawan yang tak bertubuh namun tetaplah mewujud. Entah mengapa derita baginya terlalu cepat tumbuh dan selalu menemaninya setiap saat. Saat ia lapar, derita senantiasa mengelus-elus pusarnya. Saat hujan, derita selalu menusukinya dari atap-atap bocor. Pun dengan angin malam yang terkenal keganasannya di seluruh jagad itu setiap malam selalu menghampirinya mengiringi derita. Maka derita mana yang belum pernah ia rasakan? Setiap rupanya telah ia kenal, setiap baunya pernah ia endus, setiap dentumnya pernah ia dengarkan.

“Dik, gak bisa buatkan aku kopi?” Ujar Panjul ke istrinya ketika ia lelah bekerja seharian untuk orang lain.

“Buat kopi dari apa? Dari abu gosok?” Ujar Istrinya. Memang di rumah Panjul yang tersisa selain garam dan penyedap rasa adalah abu gosok.

“Kopi saja gak ada? Jadi istri kok gak bisa ngatur keuangan keluarga.”

“Gula dan kopi bagi kita itu adalah binatang langka. Hanya abu yang tersisa. Kalau mau, aku bisa buatkan kopi abu dengan pemanis garam.”

“Binatang hinapun tak akan sudi meminum air kencing. Mana kesopananmu?”

“Tanyakan pada penghasilanmu!”

Panjul angkat kaki. Ia tak merasakan kedamaian di rumahnya. Baginya uang adalah sumber masalah hubungan keluarga. Ketidakhadiran uang adalah gelap-gulita yang tak mungkin bisa dicerahkan kecuali hanya dengan uang. “O, uang. Di mana kau berada? Lama nian kau kurindukan. Tak bisakah kau singgah di kantong-kantongku. Datanglah bergerombol! Ajak semua kerabat-kerabatmu sesama uang. Kalau bisa ajak pula teman-teman asingmu yang berada di berbagai penjuru dunia. Aku pasti akan senang.”

***

Panjul tiba di sekolah anaknya. Tiba-tiba ia rindu dengan anaknya. Ia ingin melihat senyum bulan sabit anaknya itu. Namun kelas sepertinya masih lama dibubarkan. Ia harus mencari cara untuk menyiasati kejenuhan menunggu. Ia melihat ke kanan-kiri. Ia dapati para pedagang jajanan tengah asik terpaku pada layar sentuhnya masing-masing. Ada yang tertawa, ada yang nampak serius, dan lebih banyak yang tersenyum-senyum.

Panjul menemukan sebuah ranting pohon. Ia berjongkok dan menyandarkan punggungnya pada pagar sekolah. Mulailah ia menggambar anaknya tengah memeluk boneka yang akan diimpikan semua anak. Lengkap dengan senyum bulan sabitnya.

Meski terkadang menyebalkan, tak lupa istrinya ia gambar pula di sana dengan senyum yang sama indahnya. Ia bubuhi sebuah tas yang sudah jauh-jauh hari ingin ia belikan.

Kemudian Ia menggambar dirinya: Tersenyum sama lebarnya, detail dengan jerawat-jerawatnya. Ia pun membubuhi dasi di leher citranya itu. Tak lupa ia pun membubuhi sebuah handphone di tangannya. Handphone yang jauh lebih canggih dari abang-abang penjual jajanan. Ia membayangkan kesuksesannya suatu saat.

Panjul tersenyum. Tersenyum sangat lebar. Sudah nampak sempurna lukisan di atas tanah itu. Ia kemudian melenturkan urat-urat lehernya dan terlintas sesuatu di pikirannya.

Panjul menghapus jerawat-jerawatnya di gambar itu.

***

“Bapak, aku mau handphone. Kapan aku punya handphone?

“Kamu buat apa handphone? Kayak pengusaha aja.”

“Teman-temanku udah punya handphone, aku kapan?”

“Lihat tuh di teve, apa Pak Presiden suka pegang handphone? Handphone itu gak penting. Gak ada faedahnya.”

“Tapi aku pengen nonton Youtube, Pak, kayak teman-teman. Seru. ”

“Youtube itu jebakan setan, supaya anak-anak semacam kamu malas belajar.”

“Tapi di Youtube banyak pengajian juga, Pak.”

***

Panjul berhenti di terminal itu. Keluar dari bus ia langsung bisa mencium pekatnya bau terminal: Campuran antara asap knalpot oktan rendah; Kopling usang yang selek; Keringat kondektur dan para pedagang asongan yang entah terakhir kali mandi kapan; Serta pesingnya toilet umum yang sudah menguning dan anti perbaikan. Di tengah campur-aduknya bau tak sedap terminal, Panjul harus menanyakan angkutan apa lagi yang harus dinaikinya.

Turun dari angkutan umum didapatinya informasi bahwa untuk ketempat yang ia tuju, mau tak mau Panjul harus melewati tiga bukit pertambangan pasir dan dua bukit pertambangan cadas untuk menempuh jalan pintas yang cepat. Ia tak gentar. Debu-debu tajam yang menusuk mata dan terhirup hidungnya tak menjadi hambatan berarti demi tujuan yang ia harapkan. Tebing curam dan rawan ambrol tak sejengkalpun membuat ia mundur. Apa arti semua itu jika dibandingkan semua penderitaan yang telah ia koleksi? Tak berarti!

Tibalah Panjul di badan gunung yang sudah mulai hilang kerindangannya. Gunung itu kini dihiasi gambut. Apa yang Panjul bayangkan sebagai gunung tak sesuai dengan apa yang diceritakan orang-orang mengenainya. Dalam hati ia bertanya, Apa bisa gunung ini disebut hutan lagi? Kalau begini caranya, barangkali makam keramat tersembunyi di puncak gunung itu sudah tak bisa lagi dianggap tersembunyi.

Memang begitu adanya. Makam keramat yang dimaksud orang-orang sebagai tepat pesugihan itu sudahlah bukan makam yang tersembunyi lagi. Makam itu berada dalam sebuah gubuk yang hanya terhalang rumput-rumput liar belaka. Panjul bisa menemukan banyak pangkal akar pohon yang sudah lama ditebang yang begitu lebar diameternya. “Yang menyembunyikan makam keramat ini sudah tak ada lagi. Syukurlah, itu mempermudah jalanku.

Panjul masuk ke dalam gubuk tempat makam itu berada. Gubuk yang tak bisa dibilang megah maupun dibilang sederhana. Tiang-tiangnya terbuat dari kayu jati kokoh. Namun dindingnya yang terbuat dari anyaman bambu sudah robek dan bolong di sana-sini sehingga tampak rapuh untuk meghadang angin gunung. Panjul membayangkan malam-malam yang harus ia lewati di gubuk itu untuk memperoleh wangsit. “Pasti angin gunung lebih ganas dari angin di kampungku.” Pikirnya.

***

Bulan dan Matahari silih berganti menghiasi langit. Entah berapa kali pergantian itu terjadi. Panjul tak ingat lagi dengan pasti. Panjul harus berpuasa. Hanya makan secawan nasi putih basi dan air ketika berbuka. Tak ada kekhawatiran bagi Panjul. Hal itu nampak mudah baginya yang terbiasa menahan lapar. Mungkin itu yang membuat wangsit tak kunjung muncul. Puasanya terasa mudah bagi Panjul. Akhirnya Panjul memutuskan untuk mengurangi takaran nasi dan airnya masing-masing menjadi satu sendok belaka tiap berbuka.

Wangsit yang ditunggupun akhirnya tiba setelah beberapa kali pergantian kekuasaan antara Bulan dan Matahari. Itu bermula ketika rasa lapar yang sangat membuat badannya tak bergerak dari semadinya. Pikiran yang susah payah dikosongkan selama semadi akhirnya melayang dan membawanya ke tahapan kesadaran yang belum pernah ia alami sebelumnya. Sebuah suara seram menggeram, diiringi gemuruh yang lebih mencekam dari angin malam pegunungan memasuki benak Panjul.

“Kamu serius dengan niatmu, Panjul?”

“Serius.”

“Apa gak mau mikir-mikir lagi?”

“Berulang kali sudah kupikirkan.”

“Perbuatan ini dilarang oleh agamamu. Aku yakin kamu tahu itu. Kamu pikir-pikir ulang lagi! Apa kamu mau dinistakan oleh kaummu?”

“Selama ini aku memang sudah nista. Berlumur-lumur kenistaan.”

“Coba dipikir-pikir lagi, siapa tahu ada sesuatu yang bisa kamu banggakan dalam dirimu. Atau sesuatu yang kamu miliki yang pantas kamu syukuri, Panjul. Aku yakin ada.”

“Tak ada sama sekali.”

“Istrimu? Anakmu?”

“Ya. Tapi aku tak mau anak dan istriku melarat. Aku ingin kaya!”

“Apa kiai-kiai di kampungmu lupa bilang akan perlunya menjaga anak-istrimu dari api neraka? Apa mereka tak bilang bahwa neraka itu sepenuhnya kemelaratan, kesedihan, dan penderitaan?” Apa kupingmu tak pernah mendengar sayup-sayup pelantang masjid yang bilang bahwa neraka itu luka, darah, dan air mata?”

“Jika memang demikian adanya neraka. Berarti selama ini akulah penghuninya.”

“Tak adakah para penghuni lain di nerakamu itu, Panjul?” Para manusia yang merasa menghuni neraka karena dikhianati istri? Para manusia penghuni neraka yang tak kunjung pula bisa beranak?”

Panjul tertegun.

“Pulanglah, Panjul! Untuk apa buang-buang waktumu di sini. Aku tak melihat keseriusan dalam dirimu. Kamu tak layak untuk melakukan perjanjian dengan setan. ”

“Aku serius. Aku ingin kaya.”

“Baiklah. Apa yang kau inginkan ada di tanah seberang, Panjul. Pertama-tama pergilah ke sana! Kamu akan bertemu dengan agenku di sana. Ia akan menyodorkanmu sehelai kertas yang perlu kamu tanda tangani agar kaya-raya.”

***

Panjul menyandarkan punggungnya di kursi. Ia bernafas dengan tenang sambil menatapi foto keluarga di dinding di depan matanya. Nampak senyuman di pipi Panjul ketika ia melihat di dalam foto itu senyum bulan sabit anaknya tengah memeluk boneka kesayangannya. Tak terasa kini anaknya sudah merantau ke pulau kelahirannya untuk kuliah. Sungguh berbeda anaknya kini dengan anaknya yang ada di foto itu. Panjul bertanya-tanya, ke mana boneka yang ada di pangkuan anaknya itu sekarang? Betapa waktu sudah lama bergulir. Panjul pun tak ingat lagi di mana ia membeli boneka itu.

Ketukan pintu merusak ketenangan yang tengah dinikmatinya. Ia mempersilakan ajudannya masuk dan mendengarkan pemaparannnya. Terkejutlah ia ketika tahu pihak berwajib sedang mengepung kediamannya.

Panjul berserah diri. Ia mendengarkan semua tuduhan. Panjul terheran-heran mengapa semua kegiatan ilegalnya di tanah seberang bisa terkuak. Bukankah ia telah menyamarkannya dengan sesamar mungkin? Bukankah ia telah menutupinya serapat mungkin?

Belakangan Panjul sadar ia telah meminta pertolongan pada dan bersepakat dengan pihak yang salah.

Panjul sadar. Ia telah melakukan perjanjian dengan setan.

***

Panjul merobek-robek kertas. Berpuluh-puluh lembar ia robek. Ia berharap bahwa kertas yang ia robek dapat mewakilkan perjanjian yang pernah ia buat. Namun sayang, usahanya itu akan selalu percuma… Kertas adalah kertas. Sedangkan perjanjian adalah perjanjian.

Panjul merobek-robek kertas. Tanpa kesadaran.

Related posts

Leave a Comment

twenty − 4 =